Selasa, 10 September 2013

Najwa dan Salwa

Dulu di negeri jauh hiduplah kakak beradik bernama Najwa dan Salwa. Mereka tinggal sebatang kara di sebuah rumah tua di desa yang jauh dari pusat kerajaan. Keluarganya entah di mana, sejak dahulu kala yang mereka tahu adalah mereka tidak memiliki orang lain kecuali satu sama lain. Keduanya berparas cantik dan berbudi baik. Wajah mereka begitu mirip dan mereka saling menyayangi.

Dalam segala kekurangannya, Tuhan memberikan anugrah pada Najwa berupa suara yang begitu merdu. Berkat suara itulah selama ini mereka menyambung hidup. Najwa adalah penyanyi keliling yang memiliki banyak penggemar. Seringkali dia diundnag ke acara pesta maupun pernikahan untuk membawakan menyanyi dan menari. Begitu banyak orang mengagumi suaranya, termasuk adiknya, Salwa yang malangnya dia tidak dapat berbicara dan mendengar dengan baik sejak kecil. Bicaranya gagu. Begitulah Tuhan menjodohkan hambanya, namun mereka dapat hidup rukun dan saling menyayangi.

Suatu hari di bulan Desember, tepat dua hari sebelum ulang tahun ke 18 Salwa, Najwa mendapatkan undangan dari kerajaan. Raja meminta Najwa untuk menyanyi di hari ulang tahunnya esok hari. Najwa senang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya dia mendapat undangan menyanyi dari Rajanya. Sekilat setelah membaca surat itu dia menghambur ke adiknya yang sedang menambal kelambu mereka yang rusak.
“Besok aku akan menyanyi untuk raja, nanti uang hasil menyanyi itu akan kubelikan hadiah ulang tahunmu, sekarang pikirkanlah baik-baik apa yang kau inginkan, mengerti?” Kata Najwa gurang sambil mengusak kepala adiknya yang membalasnya dengan senyum kegembiraan.

Tak lama setelah itu Najwa pergi untuk menyanyi di tempat lain, dia berpesan bahwa acaranya akan digelar malam hari jadi mungkin dia akan pulang terlambat. Sebelum pergi, Najwa megingatkan adiknya untuk makan dan mengunci pintu dengan baik.

Malam telah cukup larut, Salwa baru saja memutuskan untuk beristirahat tanpa menunggu kakaknya sebelum suara gedoran keras di pintu membuatnya terlonjak kaget ketakutan. Itu bukan kakaknya, dia tahu. Salwa membuka pintu perlahan dengan ketakutan, dan berdirilah di sana Kintana. Kintana adalah juga seorang penyanyi, dulu dimasa kejayaannya dia juga sepopuler Najwa saat ini. Hanya saja sekarang dia dikalahkan oleh waktu hingga popularitasnya sedikit tersisih, digantikan oleh darah muda dan segar seorang Najwa. Hari ini Kintana mendengar bahwa Najwa mendapat undangan dari raja untuk menyanyi di hari ulang tahunnya. Undangan itu selama ini selalu jatuh ketangannya, maka itulah dia sangat marah saat undangan tersebut berpindah tangan.

Didepan pintu itu, berhadapan dengan Kintana yang terlihat marah Salwa mundur beberapa langkah dnegan ketakutan. Dia tidak bisa bicara, hanya terdiam dan air matanya merebak. “Kau pasti Salwa?! Mana kakakmu?! Aku ingin mendengar sebagus apa suara yang dimilikinya sehingga tahun ini raja tidak lagi mengirimkan undanagnnya kepadaku?!”
Salwa menggeleng. Dengan kemampuannya dia berusaha mengeluarkan suara dengan jelas bahwa kakaknya sedang pergi untuk menyanyi. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah penggalan suara yang tidak jelas dan sengau. Berisik.

Mendengar itu, Kintana tertawa keras. “Hahahah, jadi benar apa yang aku dengar, bahwa adik Najwa adalah seorang yang bisu dan idak dapat bicara?! Tidakkah kakakmu malu memiliki adik cacat sepertimu?! Bagaimana bisa penyanyi dengan suara semerdu Najwa memiliki adik yang bahkan tidak dapat menyebutkan namanya dengan jelas?!”

Salwa terdiam. Dia mencerna satu-satu apa yang diucapkan Kintana barusan. Ya, benar. Selama ini kakaknya tak pernah mengungkit soal perbedaan mereka yang begitu besar. Selama ini kakaknya selalu melindungi perasaannya dari kenyataan yang sebenarnya dia harus trima. Bahwa dia adalah seorang bisu. Tuli. Sementara kakaknya adalah penyanyi ternama yang dipuja begitu banyak orang. Kenyataan ini memakannya bulat-bulat. Dia menghadapi kenyataan yang lebih menakutkan dari kemarahan Kintana.
Kintana yang semakin menyadari perubahan wajah dari Salwa semakin menjadi-jadi. Dia terus memaki dan menceritakan hal yang tidak benar bahwa di luar sana Najwa malu memiliki adik seperti dirinya. Bahwa dia adalah aib bagi kakaknya. Setelah puas memaki, Kintana tahu dia menang, dan melenggang pergi dengan puas. Salwa terpuruk, dia hanya bisa menangis.

Kakaknya pulang bersama bulan yang tinggi. Dia mendapati pintu rumah yang terbuka dan langsung berlari hingga mendapati adiknya meringkuk dan masih menangis. “Ada apa?” tanyanya panik. Salwa menangis semakin menjadi, dipeluknya kakaknya erat-erat dan diceritakan semua yang terjadi malam ini. Najwa sangat terkejut. Dia marah. Jelas dia telah difitnah, dan yang lebih menyakitkan baginya adalah fitnah itu telah menyakiti adiknya seperti ini. Dia memegang bahu Salwa, berbicara tepat di depan matanya agar dia benar mengetahui apa yang akan dikatakannya. Itu semua salah, jelasnya panjang lebar bahwa dia bangga memiliki adik seperti dirinya. Saat Salwa mulai tenang, Najwa memintanya untuk tidur karena ini telah begitu larut.

Keesokan harinya bersam matahari yang perlahan tergelincir terbenam di barat, Najwa bersiap untuk memenuhi undangan raja. Sebelum berangkat dia meminta adiknya untuk berdoa untuknya. “Seperti janjiku kemarin, sepulang dari pesta raja esok pagi aku akan membawakanmu hadiah ulang tahun. Jangan pikirkan mengenai harga. Pikirkan saja apa yang kau inginkan, mengerti?” Tanya Najwa. Salwa mengangguk.

Keesokan paginya Najwa pulang dikala subuh. Adiknya telah terjaga untuk menunggunya. Dia menyambutnya dengan semangat, sekali memeluknya erat. “Selamat ulang tahun.” Bisik Najwa. “Sudahkah kau mendapatkan apa yang kau inginkan? Katakan padaku maka setelah ini aku akan pergi untuk membelinya.”

Salwa terdiam, terlihat sekilas ragu dimatanya. Tapi dengan mantap dia menjawab dengan suaranya yang patah-patah namun bisa dipahami oleh Najwa dengan begitu baik, bahwa yang dia inginkan adalah suara emas. Untuk sekali saja dalam hidupnya dia ingin bisa menyanyi dengan merdu seperti kakaknya. Najwa begitu terkejut. Di mana dia bisa mendapatkan orang yang mejual suara?. Ditatapnya mata Salwa yang bulat dan coklat, di mata itu dia mengingat kekecewaan kemarin malam karena perkataan Kintana, dan dia tidak dapat melihatnya lagi. Najwa tersenyum, dibelainya kepala adiknya sekali sebelum berdiri dan berkata “Baiklah, aku akan mecarikanmu suara yang merdu. Tunggulah aku di rumah.” Pesannya. Salwa juga berdiri dengan mengerjap senang dan tidak percaya. Dia melepas kepergian kakaknya dengan kegembiraan dan harapan yang memenuhi kerongkongannya.

Seharian sudah Slawa menunggu kakaknya pulang di luar rumah. Di kursi kayu yang sudah sedikit reyot itu dia duduk sambil menatap jalan jauh. Malam telah turun perlahan. Bintang-bintang begitu terang dan angin malam begitu dingin. Najwa belum pulang, Salwa mulai cemas. Penyesalan mulai memenuhi hatinya, bagaimana bisa dia meminta hal yang ustahil itu pada kakaknya. Dia mulai menangis. Lama sekali dia menangis hingga dia mendengar suara merdu kakaknya memanggilnya. Salwa terlonjak berdiri. Matanya mencari-cari sosok kakaknya yang berdiri dengan penuh senyum seperti biasanya. Sejauh apa mata itu mencari Salwa tidak dapat menemukan kakaknya. Namun jelas, tadi yang dia dengar adalah suara kakaknya. Dalam kebingungan itu dia mendengar kembali suaranya dipanggil. Kali ini dia sadar, bahwa suaranya datang dari atas. Dia mendongak. Tidak ada siapa-siapa. Suara itu datang langit dan benar, itu dari langit. Dia mecari-cari sosok kakaknya di antara bintang. Tidak ada sosok Najwa di sana. Yang dia temukan adalah sebuah bintang merah yang begitu terang tepat di atasnya. Bintang itu berkelip dan suara kakaknya datang lagi memanggil namanya. Itu adalah bintang Najwa, dia yakin. Apa yang telah terjadi? Pikirnya. Dia terus memanggil-manggil nama kakaknya sambil menghadap bintang itu. Namun tidak ada yang terjadi. Hatinya hancur, dia tidak tahu apa yang terjadi, namun dia tahu kakaknya tidak akan kembali. Seluruh badannya lemas. Kenangan mengenai kakaknya yang selalu tersenyum dan menghiburnya memenuhi kepalanya, sementara hatinya dipenuhi dengan penyesalan. Di tengah keterpurukan itu secara spontan dia menyanyikan nyanyian yang sewaktu kecil dulu selalu dinyanyikan kakaknya untuk menghiburnya yang sedang menangis. “Di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan, kelinci gendut menyembunyikan wortelnya yang besar...” Dan betapa dia terkejut, dari mulutnya dia mendengar kata demi  kata dilagu tersebut terucapkan dengan sempurna dan merdu “Kelompok lebah merajai pohon besar yang anginnya menerbangkan kelopak bunga tulip.” Salwa senang luar biasa. Suaranya begitu merdu. Sambil menatap bintang yang dia yakin adalah kakaknya dia menyanyikan lagu tersebut sepanjang malam.

Begitulah yang terjadi. Najwa tidak pernah kembali. Salwa tidak pernah benar-benar memiliki suara semerdu kakaknya. Yang dia miliki adalah bintang merah yang setiap malam menemaninya menyanyi. Suara merdu Salwa hanya bisa ada jika bintang itu ada di dekatnya. Setiap malam yang dia nyanyikan hanyalah lagu yang dulu biasa dinyanyikan kakaknya untuk menghiburnya itu. Setiap malam rindu, penyesalan dan kebahagiaan memenuhi hatinya yang sepi.


“Di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan, kelinci gendut menyembunyikan wortelnya yang besar. Kelompok lebah merajai pohon besar yang anginnya menerbangkan kelopak bunga tulip. Bagaimana bisa petani tidak dapat menemukan bunga terindah di kebunnya yang penuh dengan bunga indah warna-warni. Pasti karena kelopaknya telah diterbangkan oleh tiupan angin di pohon lebah...~”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar