Dulu di negeri jauh
hiduplah kakak beradik bernama Najwa dan Salwa. Mereka tinggal sebatang kara di
sebuah rumah tua di desa yang jauh dari pusat kerajaan. Keluarganya entah di
mana, sejak dahulu kala yang mereka tahu adalah mereka tidak memiliki orang
lain kecuali satu sama lain. Keduanya berparas cantik dan berbudi baik. Wajah
mereka begitu mirip dan mereka saling menyayangi.
Dalam segala
kekurangannya, Tuhan memberikan anugrah pada Najwa berupa suara yang begitu
merdu. Berkat suara itulah selama ini mereka menyambung hidup. Najwa adalah
penyanyi keliling yang memiliki banyak penggemar. Seringkali dia diundnag ke
acara pesta maupun pernikahan untuk membawakan menyanyi dan menari. Begitu
banyak orang mengagumi suaranya, termasuk adiknya, Salwa yang malangnya dia
tidak dapat berbicara dan mendengar dengan baik sejak kecil. Bicaranya gagu.
Begitulah Tuhan menjodohkan hambanya, namun mereka dapat hidup rukun dan saling
menyayangi.
Suatu hari di bulan
Desember, tepat dua hari sebelum ulang tahun ke 18 Salwa, Najwa mendapatkan
undangan dari kerajaan. Raja meminta Najwa untuk menyanyi di hari ulang
tahunnya esok hari. Najwa senang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya dia
mendapat undangan menyanyi dari Rajanya. Sekilat setelah membaca surat itu dia
menghambur ke adiknya yang sedang menambal kelambu mereka yang rusak.
“Besok aku akan menyanyi untuk raja, nanti uang hasil menyanyi itu akan kubelikan hadiah ulang tahunmu, sekarang pikirkanlah baik-baik apa yang kau inginkan, mengerti?” Kata Najwa gurang sambil mengusak kepala adiknya yang membalasnya dengan senyum kegembiraan.
“Besok aku akan menyanyi untuk raja, nanti uang hasil menyanyi itu akan kubelikan hadiah ulang tahunmu, sekarang pikirkanlah baik-baik apa yang kau inginkan, mengerti?” Kata Najwa gurang sambil mengusak kepala adiknya yang membalasnya dengan senyum kegembiraan.
Tak lama setelah itu Najwa pergi untuk menyanyi di tempat lain, dia berpesan bahwa acaranya akan digelar malam hari jadi mungkin dia akan pulang terlambat. Sebelum pergi, Najwa megingatkan adiknya untuk makan dan mengunci pintu dengan baik.
Malam telah cukup
larut, Salwa baru saja memutuskan untuk beristirahat tanpa menunggu kakaknya
sebelum suara gedoran keras di pintu membuatnya terlonjak kaget ketakutan. Itu bukan
kakaknya, dia tahu. Salwa membuka pintu perlahan dengan ketakutan, dan
berdirilah di sana Kintana. Kintana adalah juga seorang penyanyi, dulu dimasa
kejayaannya dia juga sepopuler Najwa saat ini. Hanya saja sekarang dia
dikalahkan oleh waktu hingga popularitasnya sedikit tersisih, digantikan oleh
darah muda dan segar seorang Najwa. Hari ini Kintana mendengar bahwa Najwa
mendapat undangan dari raja untuk menyanyi di hari ulang tahunnya. Undangan itu
selama ini selalu jatuh ketangannya, maka itulah dia sangat marah saat undangan
tersebut berpindah tangan.
Didepan pintu itu,
berhadapan dengan Kintana yang terlihat marah Salwa mundur beberapa langkah
dnegan ketakutan. Dia tidak bisa bicara, hanya terdiam dan air matanya merebak.
“Kau pasti Salwa?! Mana kakakmu?! Aku ingin mendengar sebagus apa suara yang
dimilikinya sehingga tahun ini raja tidak lagi mengirimkan undanagnnya
kepadaku?!”
Salwa menggeleng.
Dengan kemampuannya dia berusaha mengeluarkan suara dengan jelas bahwa kakaknya
sedang pergi untuk menyanyi. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah penggalan
suara yang tidak jelas dan sengau. Berisik.
Mendengar itu, Kintana
tertawa keras. “Hahahah, jadi benar apa yang aku dengar, bahwa adik Najwa
adalah seorang yang bisu dan idak dapat bicara?! Tidakkah kakakmu malu memiliki
adik cacat sepertimu?! Bagaimana bisa penyanyi dengan suara semerdu Najwa
memiliki adik yang bahkan tidak dapat menyebutkan namanya dengan jelas?!”
Salwa terdiam. Dia
mencerna satu-satu apa yang diucapkan Kintana barusan. Ya, benar. Selama ini
kakaknya tak pernah mengungkit soal perbedaan mereka yang begitu besar. Selama
ini kakaknya selalu melindungi perasaannya dari kenyataan yang sebenarnya dia
harus trima. Bahwa dia adalah seorang bisu. Tuli. Sementara kakaknya adalah
penyanyi ternama yang dipuja begitu banyak orang. Kenyataan ini memakannya
bulat-bulat. Dia menghadapi kenyataan yang lebih menakutkan dari kemarahan
Kintana.
Kintana yang semakin
menyadari perubahan wajah dari Salwa semakin menjadi-jadi. Dia terus memaki dan
menceritakan hal yang tidak benar bahwa di luar sana Najwa malu memiliki adik
seperti dirinya. Bahwa dia adalah aib bagi kakaknya. Setelah puas memaki,
Kintana tahu dia menang, dan melenggang pergi dengan puas. Salwa terpuruk, dia
hanya bisa menangis.
Kakaknya pulang bersama
bulan yang tinggi. Dia mendapati pintu rumah yang terbuka dan langsung berlari
hingga mendapati adiknya meringkuk dan masih menangis. “Ada apa?” tanyanya
panik. Salwa menangis semakin menjadi, dipeluknya kakaknya erat-erat dan
diceritakan semua yang terjadi malam ini. Najwa sangat terkejut. Dia marah.
Jelas dia telah difitnah, dan yang lebih menyakitkan baginya adalah fitnah itu
telah menyakiti adiknya seperti ini. Dia memegang bahu Salwa, berbicara tepat
di depan matanya agar dia benar mengetahui apa yang akan dikatakannya. Itu
semua salah, jelasnya panjang lebar bahwa dia bangga memiliki adik seperti
dirinya. Saat Salwa mulai tenang, Najwa memintanya untuk tidur karena ini telah
begitu larut.
Keesokan harinya bersam
matahari yang perlahan tergelincir terbenam di barat, Najwa bersiap untuk memenuhi
undangan raja. Sebelum berangkat dia meminta adiknya untuk berdoa untuknya. “Seperti
janjiku kemarin, sepulang dari pesta raja esok pagi aku akan membawakanmu
hadiah ulang tahun. Jangan pikirkan mengenai harga. Pikirkan saja apa yang kau
inginkan, mengerti?” Tanya Najwa. Salwa mengangguk.
Keesokan paginya Najwa
pulang dikala subuh. Adiknya telah terjaga untuk menunggunya. Dia menyambutnya
dengan semangat, sekali memeluknya erat. “Selamat ulang tahun.” Bisik Najwa. “Sudahkah
kau mendapatkan apa yang kau inginkan? Katakan padaku maka setelah ini aku akan
pergi untuk membelinya.”
Salwa terdiam, terlihat
sekilas ragu dimatanya. Tapi dengan mantap dia menjawab dengan suaranya yang
patah-patah namun bisa dipahami oleh Najwa dengan begitu baik, bahwa yang dia
inginkan adalah suara emas. Untuk sekali saja dalam hidupnya dia ingin bisa menyanyi
dengan merdu seperti kakaknya. Najwa begitu terkejut. Di mana dia bisa
mendapatkan orang yang mejual suara?. Ditatapnya mata Salwa yang bulat dan
coklat, di mata itu dia mengingat kekecewaan kemarin malam karena perkataan
Kintana, dan dia tidak dapat melihatnya lagi. Najwa tersenyum, dibelainya kepala
adiknya sekali sebelum berdiri dan berkata “Baiklah, aku akan mecarikanmu suara
yang merdu. Tunggulah aku di rumah.” Pesannya. Salwa juga berdiri dengan
mengerjap senang dan tidak percaya. Dia melepas kepergian kakaknya dengan
kegembiraan dan harapan yang memenuhi kerongkongannya.
Seharian sudah Slawa
menunggu kakaknya pulang di luar rumah. Di kursi kayu yang sudah sedikit reyot
itu dia duduk sambil menatap jalan jauh. Malam telah turun perlahan.
Bintang-bintang begitu terang dan angin malam begitu dingin. Najwa belum
pulang, Salwa mulai cemas. Penyesalan mulai memenuhi hatinya, bagaimana bisa
dia meminta hal yang ustahil itu pada kakaknya. Dia mulai menangis. Lama sekali
dia menangis hingga dia mendengar suara merdu kakaknya memanggilnya. Salwa
terlonjak berdiri. Matanya mencari-cari sosok kakaknya yang berdiri dengan
penuh senyum seperti biasanya. Sejauh apa mata itu mencari Salwa tidak dapat
menemukan kakaknya. Namun jelas, tadi yang dia dengar adalah suara kakaknya.
Dalam kebingungan itu dia mendengar kembali suaranya dipanggil. Kali ini dia
sadar, bahwa suaranya datang dari atas. Dia mendongak. Tidak ada siapa-siapa.
Suara itu datang langit dan benar, itu dari langit. Dia mecari-cari sosok
kakaknya di antara bintang. Tidak ada sosok Najwa di sana. Yang dia temukan
adalah sebuah bintang merah yang begitu terang tepat di atasnya. Bintang itu
berkelip dan suara kakaknya datang lagi memanggil namanya. Itu adalah bintang
Najwa, dia yakin. Apa yang telah terjadi? Pikirnya. Dia terus memanggil-manggil
nama kakaknya sambil menghadap bintang itu. Namun tidak ada yang terjadi.
Hatinya hancur, dia tidak tahu apa yang terjadi, namun dia tahu kakaknya tidak
akan kembali. Seluruh badannya lemas. Kenangan mengenai kakaknya yang selalu tersenyum
dan menghiburnya memenuhi kepalanya, sementara hatinya dipenuhi dengan
penyesalan. Di tengah keterpurukan itu secara spontan dia menyanyikan nyanyian
yang sewaktu kecil dulu selalu dinyanyikan kakaknya untuk menghiburnya yang
sedang menangis. “Di tepi sungai yang airnya mengalir perlahan, kelinci gendut
menyembunyikan wortelnya yang besar...” Dan betapa dia terkejut, dari mulutnya
dia mendengar kata demi kata dilagu
tersebut terucapkan dengan sempurna dan merdu “Kelompok lebah merajai pohon
besar yang anginnya menerbangkan kelopak bunga tulip.” Salwa senang luar biasa.
Suaranya begitu merdu. Sambil menatap bintang yang dia yakin adalah kakaknya
dia menyanyikan lagu tersebut sepanjang malam.
Begitulah yang terjadi.
Najwa tidak pernah kembali. Salwa tidak pernah benar-benar memiliki suara
semerdu kakaknya. Yang dia miliki adalah bintang merah yang setiap malam
menemaninya menyanyi. Suara merdu Salwa hanya bisa ada jika bintang itu ada di
dekatnya. Setiap malam yang dia nyanyikan hanyalah lagu yang dulu biasa
dinyanyikan kakaknya untuk menghiburnya itu. Setiap malam rindu, penyesalan dan
kebahagiaan memenuhi hatinya yang sepi.
“Di tepi sungai yang
airnya mengalir perlahan, kelinci gendut menyembunyikan wortelnya yang besar. Kelompok
lebah merajai pohon besar yang anginnya menerbangkan kelopak bunga tulip.
Bagaimana bisa petani tidak dapat menemukan bunga terindah di kebunnya yang
penuh dengan bunga indah warna-warni. Pasti karena kelopaknya telah
diterbangkan oleh tiupan angin di pohon lebah...~”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar